Mas Nadiem Terkejut ketika Komitmen Kebangsaan Kita Dipertanyakan

Penyampaian beliau menyikapi isu yang berkembang di masyarakat terkait penyederhanaan kurikulum

Belum Bisa Menulis? Ini Kiatnya!

Kuliah Umum IV Pembatik Level 4 Tahun 2020

Kompetensi Public Speaking Seorang Pendidik

Kuliah Umum I Pembatik Level 4 bersama Charles Bonar Sirait

Founder "Sokola Rimba"

Kuliah Umum II Pembatik Level 4 bersama Butet Manurung, MAAPD.

Pembukaan Kuliah Umum Pembatik Lev. 4 Tahun 2020

Kuliah Umum Perdana Pembatik Lev. 4 Tahun 2020. Dibuka oleh Mas Nadiem Makarim

Rabu, 27 November 2013

Haruskah Hipotesis Nol Sebagai Hipotesis Penelitian

Dali S. Naga

Abstract. 
There are usually two kinds of hypotheses in a research, research hypothesis and statistical hypothesis. Statistical hypothesis testing using sample data is usually expressed through a pair of statements H0 and H1. In many research reports research hypotheses are expressed in H1. But it is always possible to express research hypothesis in H0. 

          Ketika kita menggunakan statistika untuk menguji hipotesis maka muncullah dua macam hipotesis berupa hipotesis penelitian dan hipotesis statistika. Tepatnya hipotesis penelitian kita rumuskan kembali menjadi hipotesis statistika yang sepadan. Hipotesis statistika harus mencerminkan dengan baik maksud dari hipotesis penelitian yang akan diuji. 

          Pada hakikatnya ada dua jenis hipotesis statistika. Jenis pertama adalah apabila data kita berupa populasi yang kita peroleh melalui sensus. Dengan data populasi, hipotesis statistika cukup berbentuk H. Tidak diperlukan hipotesis H0. Misalnya dalam hal rerata, hipotesis statistika itu berbentuk H: Î¼x > 6. Jika data populasi memiliki rerata di atas 6 maka hipotesis diterima dan jika tidak maka hipotesis ditolak. Karena seluruh populasi sudah dilihat maka keputusan ini menjadi kepastian.

         Jenis kedua adalah apabila data kita berupa sampel yang kita peroleh melalui penarikan sampel. Biasanya sampel itu berupa sampel acak, baik dengan cara  pengembalian maupun dengan cara tanpa pengembalian. Dengan data sampel, hipotesis statistika menjadi H0 dan H1. Misalnya dalam rerata, hipotesis statistika itu berbentuk H0: Î¼x = 6 dan H1: Î¼x > 6. Syaratnya adalah tiadanya pilihan ketiga.

         Dalam hal data sampel, sering terjadi bahwa hipotesis penelitian dirumuskan kembali menjadi H1. Pengujian hipotesis dilakukan melalui penolakan H0. Selanjutnya dengan syarat tidak ada pilihan ketiga pada hipotesis, maka penolakan H0 dapat diartikan sebagai penerimaan H1. Jadi pengujian hipotesis penelitian dilakukan melalui cara tak langsung yakni melalui penolakan H0 dan melalui tiadanya pilihan ketiga pada hipotesis.

           Kini muncul pertanyaan apakah hipotesis penelitian dapat dirumuskan kembali menjadi H0? Karena jarang terjadi, sejumlah orang merasa ragu. Sekalipun jarang, hal demikian pernah terjadi sementara beberapa penulis menyatakan boleh. Kerlinger (1979) melaporkan hasil penelitian yang menggunakan H0. Myers and Pohlman (1979) mempresentasikan makalah berjudul “Null Hypothesis as a Research Hypothesis.” Selain itu, Wiersma (1995) mencantumkan contoh hipotesis nol sebagai hipotesis penelitian. Gay (1990) menunjukkan walaupun tidak terlalu sering hipotesis berupa tidak beda itu memang ada. Lock, cs (1993) mengatakan bahwa hipotesis dapat ditulis, baik sebagai pernyataan nol (mudahnya disebut hipotesis nol), “Tiada beda di antara …,” maupun sebagai pernyataan terarah menunjukkan jenis hubungan yang diantisipasi.

        Kebanyakan penelitian dirumuskan ke hipotesis statistika H1. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan hipotesis penelitian dirumuskan ke hipotesis statistika H0. Adalah pada tempatnya kalau di sini kita melihat alasan mengapa hipotesis penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk H0. Untuk itu kita perlu melihat apa sebenarnya fungsi dan peranan H0 di dalam pengujian hipotesis statistika. Adanya hipotesis H0 lebih merupakan urusan teknik statistika yang menggunakan data sampel daripada urusan hipotesis penelitian. Kita mulai dengan melihat peristiwa kekeliruan sampel.

Kekeliruan Sampel
Sampel mungkin saja keliru dalam pengertian berbeda dengan populasi asalnya. Sebagai contoh kita melihat parameter dan statistik rerata. Misalkan kita memiliki populasi X berupa bilangan 3, 5, 7, 9. Ukuran populasi ini adalah N = 4. Rerata populasi ini adalah ux = 6. Dengan pengembalian, kita menarik semua sampel acak berukuran n = 2

Tampak di sini bahwa rerata sampel tidak selalu sama dengan rerata populasi, misalnya, rerata sampel 3 pada hal rerata populasi 6. Ini dikenal sebagai kekeliruan sampel. Distribusi kekeliruan sampel dikenal sebagai distribusi probabilitas (kekeliruan) pensampelan. Bergantung kepada parameter, populasi, dan sampel, distribusi pensampelan ini dapat berbentuk distribusi probabilitas normal, t-Student, khi-kuadrat, F Fisher-Snedecor, atau bahkan binomial. Simpangan baku distribusi probabilitas ini dikenal sebagai kekeliruan baku.

Pengujian Hipotesis Dengan Data Sampel

Pengujian hipotesis menggunakan data sampel yang mungkin saja keliru. Karena itu pengujian ini perlu memperhatikan berapa besar probabilitas bahwa sampel itu berasal dari populasi tertentu. Dalam hal hipotesis H0 dan H1 maka kita ingin mengentahui berapa besar probabilitas bahwa sampel itu berasal dari populasi H0 serta berapa besar probabilitas bahwa sampel itu berasal dari populasi H1.
  Dalam hal rerata, misalkan hipotesis itu adalah H0: Î¼x = 6 dan H1: Î¼x > 6, sedangkan rerata sampel adalah Xr = 6,3. Rerata sampel ini memiliki kemungkinan keliru sehingga tidak dapat langsung digunakan untuk mengambil keputusan. Kita perlu melihat berapa besar probabilitas rerata sampel ini berasal dari populasi H0 serta berapa besar probabilitas rerata sampel itu berasal dari populasi H1.
  Dengan tanda = pada H0 kita memiliki satu populasi H0. Dengan tanda > pada H1 kita memiliki tak hingga banyaknya populasi H1. Dengan demikian kita tidak mungkin mencari berapa besar probabilitas bahwa data sampel berasal dari populasi H1 (Naga, 2006). Kita hanya dapat mencari berapa besar probabilitas bahwa sampel berasal dari populasi H0. Di sinilah kita temukan peranan H0 di dalam pengujian hipotesis.
Katakan saja bahwa probabilitas rerata sampel berasal dari populasi H0 adalah sebesar α. Probabilitas ini kita peroleh dengan melihat kedudukan statistik data sampel pada distribusi probabilitas (kekeliruan) pensampelan untuk parameter rerata. Karena itu, pada pengujian hipotesis, kita perlu mengetahui bentuk dari distribusi probabilitas (kekeliruan) pensampelan serta kekeliruan bakunya. Berdasarkan Î± ini kita mengambil keputusan pada pengujian hipotesis.

Jika Î± besar maka terdapat probabilitas yang besar bahwa sampel berasal dari populasi H0 sehingga kita dapat memutuskan bahwa sampel berasal dari populasi H0. Dalam hal ini kita menerima H0. Sebaliknya jika Î± kecil, misalkan kurang dari 0,05 atau kurang dari 0,01, maka kita menjadi ragu. Kalau H0 kita terima maka kemungkinannya terlalu kecil. Kalau H0 kita tolak maka ada probabilitas sebesar Î± bahwa sampel betul berasal dari H0 sehingga kita mengambil keputusan yang keliru. Keputusan mana yang akan diambil, menerima H0 dengan probabilitas kecil ataukah menolak H0 dengan probabilitas keliru sebesar Î± (taraf signifikansi).
Biasanya kita berkeputusan untuk menolak H0 dengan risiko keliru sebesar Î±. Ini berarti kita berkeputusan bahwa sampel kita bukan berasal dari populasi H0. Selanjutnya dengan alasan tiada pilihan ketiga, maka penolakan H0 dapat diartikan sebagai penerimaan H1. Sekali lagi, jika tiada pilihan ketiga, sehingga rumusan hipotesis statistika tidak boleh memberi peluang untuk adanya pilihan ketiga selain pasangan H0 dan H1.

Hipotesis Penelitian dan Hipotesis Statistika

Tampak dari uraian di atas bahwa urusan hipotesis H0 adalah urusan teknis statistika. Bahkan kalau kita menggunakan data populasi, hipotesis H0 pun tidak kita perlukan. Dalam hal data populasi, parameter data populasi langsung dirujukkan dengan hipotesis dan daripadanya diambil keputusan tanpa risiko keliru atau taraf signifikansi. Namun dalam hal data sampel, karena adanya kemungkinan kekeliruan sampel, maka keputusan tentang hipotesis masih mengandung risiko keliru (taraf signifikansi).
Dengan demikian, adalah masuk akal untuk berpendapat bahwa tidak ada keharusan untuk selalu merumuskan hipotesis penelitian ke dalam bentuk  hipotesis H1. Tidak ada salahnya hipotesis penelitian dirumuskan dalam bentuk hipotesis H0. Memang benar bahwa pada keputusan untuk penerimaan H0 kita tidak diikat oleh probabilitas keliru tipe I atau Î±. Namun dengan sedikit perhitungan kita dapat menggunakan probabilitas keliru tipe II atau Î²
Di dalam penelitian, pengujian normalitas dirumuskan ke dalam bentuk H0. Pengujian linieritas dirumuskan ke dalam bentuk H0. Pengujian homogenitas variansi populasi juga dirumuskan ke dalam bentuk H0. Dan pengujian validitas konstruk dengan metoda konvergen juga menggunakan rumusan H0. Di bidang pengukuran, kalau kita ingin menggantikan suatu sistem pengukuran dengan sistem setara lainnya, maka pengujiannya menggunakan rumusan H0. Apa salahnya hipotesis penelitian dirumuskan ke bentuk hipotesis H0.
Daftar Pustaka

Gay, L. R. (1990). Educational Research: Competencies for Analysis and Application. Third edition. New York: Macmillan Publishing Company.

Kerlinger, Fred N. (1979). Behavioral Research: A Conceptual Approach. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Lock, Lawrence F., Waneen Wyrick Spirduso, and Stephen J. Silverman (1993). Proposals that Work: A Guide for Planning Dissertaions and Grant Proposals. Third edition. Newbury Park, CA: Sage Publications.

Myers, Barbara E. and John T. Pohlman (1979 ERIC ED175905). The Null Hypothesis as the Research Hypothesis. San Fransisco: 63rd Annual Meeting of the American Educational Research Association.

Naga, Dali S. (2006). “Diktat Kuliah Statistika Terapan.”

Wiersma, William (1995). Research Methods in Education: An Introduction. Sixth edition. Boston: Allyn and Bacon.

Rabu, 30 Oktober 2013

KLASIFIKASI TES

Cronbach (1970) membagi tes menjadi dua kelompok besar, yakni :

1. Tes yang mengukur performasi maksimal (maximum performance)
tujuan : mengukur apa yang mampu dilakukan dan seberapa baik seseorang mampu melakukannya.
stimulus : jelas terstruktur dan subjek mengetahui jawaban yang dikehendaki.
contoh : tes inteligensi, tes bakat, tes prestasi belajar, tes profisiensi.

2. Tes yang mengukur performasi tipikal (typical performance)
tujuan : mengukur apa yang cenderung seseorang lakukan.
stimulus : berstruktur ambiguous dan subjek tidak mengetahui jawaban yang dikehendaki.
contoh : tes minat, tes sikap, dan berbagai bentuk skala kepribadian. 

Dari segi fungsinya tes terdiri dari:
1. Tes seleksi (selection test).
Tes seleksi digunakan untuk memilih atau menyeleksi siswa yang terbaik dari semua peserta tes, materinya berupa materi prasyarat untuk mengikuti program pendidikan yang akan diikuti oleh calon siswa. Tes seleksi dapat dilakukan secara lisan, secara tertulis, dengan tes perbuatan, dan dapat juga ketiganya dikombinasikan secara serempak.

2. Tes awal (pre-test).
Tes awal merupakan tes yang dilaksanakan sebelum bahan pelajaran diberikan kepada siswa dengan tujuan unyk mengetahui sejauh manakah materi atau bahan pelajaran yang akan diajarkan telah dapat dikuasai oleh siswa.

3. Tes akhir (post-test)
Tes akhir merupakan tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah semua materi pelajaran yang tergolong penting sudah dikuasi dengan sebaik-baiknya oleh siswa. Pada dasarnya materi pre-test sama dengan materi post-test.

4. Tes diagnostik (diagnostic test)
Tes diagnostik merupakan tes yang dilaksanakan untuk menentukan secara tepat jenis kesukaran yang dihadapi oleh para siswa dalam mata pelajaran tertentu. Tes diagnostik dapat dilaksanakan dengan secara lisan, tertulis, perbuatan atau kombinasi dari ketiganya.

5. Tes formatif (formative test)
Tes formatif merupakan tes hasil belajar yang bertujuan untuk mengetahui sudah sejauh manakah siswa sudah memahami pelajaran setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu dan memperbaiki kualitas pembelajaran. Tes formatif bisa dilaksanakan di tengah-tengah perjalanan program pembelajaran, yaitu dilaksanakan pada setiap kali satuan pelajaran atau subpokok bahasan berakhir atau dapat diselesaikan dan dikenal dengan istilah ulangan harian.

6. Tes sumatif (summative test)
Tes sumatif merupakan tes hasil belajar yang dilaksanakan setelah sekumpulan materi pelajaran atau satuan program pengajaran selesai diberikan. Tes sumatif dilaksanakan dengan tujuan untuk menentukan nilai yang menjadi lambang keberhasilan siswa setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.

Klasifikasi Bloom Ranah Kognitif Beserta Contoh C1-C6

Pada tahun 1950-an Benyamin Bloom memimpin suatu tim yang terdiri atas para ahli psikologi dalam menganalisis perilaku belajar akademik. Hasil pekerjaan tim ini dikenal dengan taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom menggolongkan tiga kategori perilaku belajar dan saling melengkapi (overlapping).

Bloom mengklasifikasi lebih lanjut kognitif menjadi 6. Keenam klasifikasi ranah kognitif bloom adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan
2. Pemahaman
3. Penerapan
4. Analisis
5. Sintesis
6. Penilaian




Gambar untuk klasifikasi taksonomi bloom ranah kognitif
berikut contoh keenam klasifikasi yang selanjutnya di singkat C1, C2, C3, C4, C5, C6

Contoh soal Hafalan/Ingatan (Recall) C1 atau pengetahuan
Jenjang ini meliputi kemampuan menyatakan kembali fakta, konsep, prinsip, prosedur yang telah dipelajari oleh siswa.


Kata “komputer” berasal dari kata “computare” yang artinya…………………


Contoh soal Pemahaman (Comprehension) C2
Pada jenjang ini siswa diharapkan kemampuannya untuk mengerti makna dari informasi yang diperoleh baik berupa fakta, konsep, dan prinsip.


Berdasarkan kegunaan nya, perangkat keras digolongkan dalam tiga bagian utama yaitu……


Contoh soal Penerapan (Application) C3
Yang termasuk jenjang penerapan adalah kemampuan menggunakan prinsip, aturan, atau metode yang telah diketahuinya dalam situasi baru atau situasi kongkrit.


Saat mengakhiri pemakaian windows, prosedur mematikan computer yang benar adalah……


Contoh soal Analisis (Analysis) C4
Yang dimaksud jenjang analisis adalah kemampuan menguraikan suatu informasi yang dihadapi menjadi komponen-komponennya, sehingga struktur informasi serta hubungan antar komponeninformasi tersebut menjadi jelas.


Tuliskan secara singkat langkah-langkah membuat surat dengan Mailings


Contoh soal Sintesis (Synthesis) C5
Yang dimaksud jenjang sintesis adalah kemampuan untuk mengintegrasikan bagian-bagian terpisah menjadi suatu keseluruhan yang terpadu. Termasuk di dalamnya kemampuan merencanakan eksperimen, karya tulis (laporan, artikel), menyusun cara baru untuk mengklarifikasikan obyek, peristiwa, dan informasi-informasi lainnya.


Ada 2 syarat utama dalam pembuatan mail merge yaitu……


Contoh soal Evaluasi (Evaluation) C6
Yang dimaksud jenjang evaluasi adalah kemampuan untuk mempertimbangkan nilai suatu pernyataan, uraian, pekerjaan, berdasarkan kriteria tertentu yang ditetapkan. Misalnya memilih rumusan yang didukung oleh data.


Software yang digunakan untuk keperluan mengetik naskah, dokumen atau yang lebih dikenal sebagai software pengolah kata adalah……………

TES, PENGUKURAN, PENILAIAN, EVALUASI

  • TES
    Istilah ini berasal dari bahasa latin “testum” yang berarti sebuah piringan atau jambangan dari tanah liat. Istilah ini dipergunakan dalam lapangan psikologi dan selanjutnya hanya dibatasi sampai metode psikologi, yaitu suatu cara untuk menyelidiki seseorang. Penyelidikan tersebut dilakukan mulai dari pemberian suatu tugas kepada seseorang atau untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu. Pada hakikatnya tes adalah suatu alat yang berisi serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau soal-soal yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu. Dengan demikian, fungsi tes adalah sebagai alat ukur.
  • PENGUKURANPengukuran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas “sesuatu”. Kata “sesuatu” bisa berarti peserta didik, guru, gedung sekolah, meja belajar, papan tulis, dll.  Dalam proses pengukuran tentu guru harus menggunakan alat ukur  (tes atau non tes). Alat ukur tersebut harus standar, yaitu memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang tinggi.
  • PENILAIANPenilaian adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dari pertimbangan tertentu. Kegiatan penilaian harus dapat memberikan informasi kepada guru untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya dan membantu peserta didik mencapai perkembangan belajarnya secara optimal. Implikasinya adalah kegiatan penilaian harus digunakan sebagai cara atau teknik untuk mendidik sesuai dengan prinsip pedagogis. Guru harus menyadari bahwa kemajuan belajar perserta didik merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam pembelajaran.
  • EVALUASI
    Pada hakikatnya evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) dari sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka pembuatan keputusan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
    1. Evaluasi adalah suatu proses bukan suatu hasil (produk). Hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi adalah kualitas sesuatu, baik yang menyangkut tentang nilai atau arti, sedangkan kegiatan untuk sampai pada pemberian nilai dan arti itu adalah evaluasi. Membahas tentang evaluasi berarti mempelajari bagaimana proses pemberian pertimbangan mengenai kualitas sesuatu.
    2. Tujuan evaluasi adalah untuk menentukan kualitas sesuatu, terutama yang berkenaan dengan “nilai dan arti”.
      • Pemberian nilai dilakukan apabila seorang evaluator memberikan pertimbangannya mengenai evaluan tanpa menghubungkannya dengan sesuatu yang bersifat dari luar. Jadi, pertimbangan yang diberikan sepenuhnya berdasarkan apa evaluan itu sendiri.
      • Arti, berhubungan dengan posisi dan peranan evaluasi dalam suatu konteks tertentu.
    3. Dalam proses evaluasi harus ada pemberian pertimbangan (judgement) yang merupakan konsep dasar dari evaluasi. Melalui pertimabangan inilah ditentukan nilai dan arti/makna dari sesuatu yang dievaluasi.
    4. Pemberian pertimbangan tentang nilai dan arti haruslah berdasarkan kriteria tertentu. Tanpa kriteria yang jelas, pertimbangan nilai dan arti yang diberikan bukanlah suatu proses yang dapat diklasifikasikan sebagai evaluasi. Kriteria ini penting dibuat oleh evaluator dengan pertimbangan:
      • Hasil evaluasi dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
      • Evaluator lebih percaya diri.
      • Menghindari adanya unsur subjektivitas.
      • Memungkinkan hasil evaluasi akan sama, sekalipun dilakukan pada waktu dan orang yang berbeda.
      • Memberikan kemudahan bagi evaluator dalam melakukan penafsiran hasil evaluasi.
  • HUBUNGAN EVALUASI-PENILAIAN-PENGUKURAN DAN TES
    Antara penilaian dan evaluasi sebenarnya memiliki persamaan dan perbedaan.
    • Persamaannya adalah keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu, disamping itu juga alat yang digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Pada hakikatnya keduanya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek.
    • Perbedaannya terletak pada ruang lingkup dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian lebih sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah satu komponen atau aspek saja, seperti prestasi belajar. Pelaksanaan penilaian biasanya dilakukan dalam konteks internal. Ruang lingkup evaluasi lebih luas, mencangkup semua komponen dalam suatu sistem dan dapat dilakukan tidak hanya pihak internal tetapi juga pihak eksternal.Evaluasi dan penilaian lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes merupakan salah satu alat (instrument) pengukuran. Pengukuran lebih membatasi pada gambaran yang bersifat kuantitatif (angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik, sedangkan evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Keputusan penilaian tidak hanya didasarkan pada hasil pengukuran, tetapi dapat pula didasarkan hasil pengamatan dan wawancara. Perhatikan ilustrasi berikut ini:Bu Nisa ingin mengetahui apakah peserta didiknya sudah menguasai kompetensi dasar dalam matapelajaran TIK. Untuk itu, Bu Nisa memberikan tes tertulis dalam bentuk objektif pilihan ganda sebanyak 50 soal kepada peserta didiknya (artinya Bu Nisa sudah menggunakan tes). Selanjutnya, Bu Nisa memeriksa lembar jawaban peserta didik sesuai dengan kunci jawaban, kemudian sesuai dengan rumus tertentu dihitung skor mentahnya. Ternyata, skor mentah yang diperoleh peserta didik sangat bervariasi, ada yang memperoleh skor 25, 36, 44, 47, dan seterusnya (sampai disini sudah terjadi pengukuran). Angka atau skor-skor tersebut tentu belum mempunyai nilai /makna dan arti apa-apa. Untuk memperoleh nilai dan arti dari setiap skor tersebut, Bu Nisa melakukan pengolahan skor dengan pendekatan tertentu. Hasil pengolahan dan penafsiran dalam skala 0 – 10  menunjukkan bahwa skor 25 memperoleh nilai 5 (berarti tidak menguasai), skor 36 memperoleh nilai 6 (berarti cukup menguasai), skor 44 memperoleh nilai 8 (berarti menguasai), dan skor 47 memperoleh nilai 9 (berarti sangat memuaskan). Sampai disini sudah terjadi proses penilaian. Ini contoh dalam ruang lingkup penilaian hasil belajar. Jika Bu Nisa menilai seluruh komponen pembelajaram maka berarti terjadi evaluasi.
  • KETERKAITAN EVALUASI-PENILAIAN-PENGUKURAN DAN TES
    • Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan, dan menyeluruh dalam rangka pengendalian, penjaminan, dan penetapan kualitas (nilai dan arti) pembelajaran terhadap berbagai komponen pembelajaran berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan pembelajaran.
    • Penilaian hasil belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan, menyeluruh dalam rangka pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menilai pencapaian proses dan hasil belajar peserta didik.

Rabu, 02 Oktober 2013

Tugas Kelompok 5 Terjemahan (Patta Bundu)

Quantitative Research Design

As indicated above, quantitative research focuses on analysis of numeric data. The approach often follows particular scientific methods (e.g., design, sampling, measurement). Quantitative research can be classified into three types shown in Table 4 (Trochim, 2006).

Table 4. Quantitative Research DesignsResearch Design            Non-Experiment           Quasi-Experiment         Experiment
Random Assignment of Subjects to Group        No       No       Yes
Control Group or Multiple Waves of Measurement       No       Yes      Yes


Non-experimental designs

Non-experimental designs do not involve random assignment of subjects to groups, nor is there a control or comparison group. Non-experimental designs also do not involve multiple waves of measurement. This type of design is very useful for descriptive research questions such as:
What percentage of students is involved in community service?
Do male students have different attitudes than females about the need for social service agencies?
How many faculty members have taught a service-learning course in the past three years?

The simplest, very common form of non-experiment is a one-shot survey. For example, a researcher might conduct a survey of opinions about community activism. In a variation on this, a researcher might measure attitudes at the end of a semester in a service-learning course. This design (called the post-test only, single group design, Campbell & Stanley, 1963) lacks a comparison, and therefore the ability to conclude that the outcome was the result of the servicelearning experience.

Correlational research designs evaluate the nature and degree of association between two naturally occurring variables. The correlation coefficient is a statistical summary of the nature of the inferred association between two constructs that have been operationalized as variables. The correlation coefficient contains two pieces of information (a) a number, which summarizes the degree to which the two variables are linearly associated; and (b) a sign, which summarizes the nature or direction of the relationship. The numeric value of a correlation coefficient can range from +1.0 to -1.0. Larger absolute values indicate greater linear association; numbers close to zero indicate no linear relationships. A positive sign indicates that higher values on one variable are associated with higher values on the other variable; a negative sign indicates an inverse relationship between the variables such that higher values on one variable are associated with lower values on the other variable.

Causal inferences are very difficult to make from a single correlation because the correlation does not assist in determining the direction of causality. For example, a positive correlation between volunteering and self-esteem indicates that more volunteering is associated with higher self-esteem. However, the correlation does not differentiate among at least three possibilities, (a) that volunteering affects self-esteem; (b) that self-esteem promotes volunteering; or (c) that a third variable (e.g., self-efficacy) is responsible for the correlation between selfesteem and volunteering.

Experimental designs

In contrast to correlational methods that assess the patterns between naturally occurring variables, experiments manipulate a variable, the independent variable, and see what consequence that manipulation has on another variable, the dependent variable. Not all experimental designs are equally good at allowing the researcher to make causal inferences. An outline of experimental designs is presented below. Note that this section is only intended to be an introduction to the topic. For more specific information on experimental research design, the reader should consult a research methodology text (e.g., Campbell & Stanley, 1966; Cook & Campbell, 1979; Cozby, 2009; Kerlinger, 1986). Consultation with experienced research colleagues is also helpful. Some online resources on design are listed in the appendices of this document.

The strongest research design in terms of drawing cause-and-effect conclusions (internal validity) is the randomized or true experiment. In this "gold standard" of quantitative research designs, subjects are randomly assigned to different groups or treatments in the study. Traditionally these groups of subjects are referred to as the experimental or treatment group(s) (e.g., students in a service-learning course) and the comparison or control group(s) (e.g., students in a traditional course). Note that random assignment of subjects to a group in an experiment is different from the random selection of subjects to be involved in the study. Random assignment makes it unlikely that the treatment and control groups differ significantly at the beginning of a study on any relevant variable, and increases the likelihood that differences on the dependent variable result from differences on the independent variable (treated group vs. control group). Random assignment controls for self-selection and pre-existing differences between groups; random selection or sampling is relevant to the generalizability or external validity of the research.

There are a variety of designs that utilize random assignment of subjects, but true experimental studies are relatively rare in service-learning research, as in most educational research. This is because it is usually difficult, especially in higher education settings, to randomly assign students to service-learning versus traditional courses or to different levels of a variable in the instruction. Nevertheless, the U.S. Department of Education has proposed that all research use random assignment so that education practice can be based on research with internal validity (www2.ed.gov/rschstat/eval/resources/randomqa.html). A close approximation of random assignment occurs when students are not aware that some sections of a course will be service-learning and some will not be service-learning when they register for courses (Markus, Howard, & King, 1993; Osborne et al., 1998). Also, there may be opportunities to randomly assign students to different conditions in service-learning classes (e.g., students are randomly assigned to (a) written reflection or (b) reflection through group discussion).

Quasi-experimental designs

Like experimental designs, quasi-experimental designs involve the manipulation of an independent variable to examine the consequence of that variable on another (dependent) variable. The key difference between experimental and quasi-experimental designs is that the latter do not involve random assignment of subjects to groups. A large portion of past quantitative research on service-learning involves quasi-experimental design. We do not intend to comprehensively cover all quasi-experimental designs in this primer; instead we will discuss some designs commonly seen in service-learning research. For more advanced information, or for information on other designs not discussed here, we recommend that the reader consult a graduate-level research methodology text (e.g., Campbell & Stanley, 1966; Cook & Campbell, 1979; Cozby, 2009; Kerlinger, 1986). Consultation with experienced research colleagues is also helpful. In addition, some online resources are listed in the appendices of this document.

One aspect of designing a study relates to temporal arrangements. Some researchers are interested in the developmental aspects of service-learning, or in the effects of service-learning over time. For example, they may be interested in the question of whether involvement in volunteer service during high school leads to increased involvement in service during and after college. There are two approaches to designing research to answer these types of questions. In a cross-sectional design the researcher gathers data from several different groups of subjects at approximately the same point in time. For example, a researcher might choose to conduct interviews with groups of college freshmen, juniors, graduating seniors, and alumni. Longitudinal studies (sometimes also called time series designs) involve gathering information about one group of people at several different points in time. Astin, Sax, and Avalos (1999), for example, collected survey data from entering freshmen in 1985, then surveyed the same group of students four years later in 1989, and again to the now-alumni in 1994-95. Longitudinal studies are extremely valuable sources of information for studying long-term consequences of servicelearning, but they are rare in service-learning research because of the practical, technical, and financial difficulties in following a group of people over time.

Other researchers focus their interest on questions that do not relate to developmental issues or impact over a long period of time. In fact, many if not most service-learning studies are limited to one semester or sometimes one year in length. A common strategy is to give an attitude measure to students in a service-learning course at the beginning and end of a semester. This pre-test, post-test single group design examines the difference between pre- and post-test scores for one group of students. Unfortunately, there is no assurance that the difference in pretest and post-test scores is due to what took place in the service-learning class. The difference in attitudes could be attributable to other events in the students' lives (history), natural growth changes (maturation), dropout of the least motivated students during the course (mortality), or carryover effects from the pre-test to the post-test (testing).

Another experimental design is the post-test only, static groups design1, which compares the outcomes of a pre-existing treated group to the outcomes of a pre-existing untreated group. Using this design, an instructor could give an attitude scale at the end of the semester to a service-learning section of the course and also to a section that did not contain service-learning. This design suffers from the limitation that it is not possible to conclude that the difference on the dependent variable, attitudes, is due to the difference in instruction because it is not known if the two groups were equivalent in their attitudes at the beginning of the semester.

An alternative arrangement, the nonequivalent (or untreated) control group design with pre- and post-test, is to give a pre-test and a post-test to both a service-learning section of a course and to a traditional section that does not include a service component. In this design the researcher can evaluate whether or not the two groups were equivalent at the beginning of the semester, but only on the measured variables. A second step is to examine the pattern of changes between the two groups across the semester.

The biggest problem with the nonequivalent groups design is self-selection bias, described above in the section "Common Problems in Service-Learning Research." Frequently in higher education, and sometimes in high school settings, service-learning courses are optional for graduation, and/or service is an optional component of a particular course. That is, students must select or opt to be in the class and to participate in service. The result is that students are nonrandomly assigned to the treatment group (service-learning course) and thus there is non-random assignment of students to groups. There are likely to be many differences between students who choose to be involved in service-learning classes and those who do not (Eyler& Giles, 1999). Even with a pre-test to compare equivalence of groups at the beginning of the study, a researcher could never completely eliminate the possibility that there are differences on other, unpre-tested variables, or that post-test differences are due to inherent differences in the groups, rather than differences in the educational intervention. Sometimes researchers use multiple measures preand post-treatment to help assess whether groups are equivalent on several relevant variables; statistical procedures (i.e., analysis of covariance) also can help control for differences between treatment and non-treatment groups, but only for measures that are obtained prior to the educational intervention. Of course, the best solution is random assignment of students to groups, which makes this an experimental design, rather than a quasi-experimental one.


A common variation of the nonequivalent groups design occurs when students in two sections (one including a service component and one not) of a course are being compared, but the two sections are taught by different instructors. This creates a problem in interpretation because one cannot infer that post-test differences in scores are due to the style of pedagogy (service-learning) rather than other differences between instructors. Another variation is to compare two sections of the same course, one involving service and one not, but taught in different semesters. In this case it is possible that differences in post-test scores are due to events extraneous to the study, which happened during one semester but not the other. In sum, it is important for the researcher to be aware of potential pitfalls of any research design and to take these into account when drawing conclusions from the study.

Senin, 23 September 2013

Kumpulan Tugas Pascasarjana PEP UNM

Filsafat Ilmu (Pengantar: Prof.  Dr. Jokebet, M.Pd.)
Pptx oleh Prof. Dr. Jokebet Saluddung, M.Pd

Tugas Kelompok:
- Masalah Fisika ditinjau dari (ontologi, epistemologi, dan axiologi)
Tugas Individu:
- Mengkaji Buku Fisika Menurut Pandangan Filsafat Ilmu


Metodologi Penelitian Kuantitatif (Pengantar: Prof. Dr. Patta Bundu, M.Ed.)
-Draft Proposal Penelitian


Administrasi dan Pengelolaan Sekolah (Pengantar: Dr. Sulaiman Samad, M.Si)
Tugas Kelompok:
-Administrasi dan Manajemen Layanan Khusus Sekolah
 (Didiskusikan,, kemudiaan menghasilkan suatu perangkat sebagai program pengawas untuk melaksanakan pembinaan aministrasi/manajemen layanan khusus di sekolah binaan)





Jumat, 20 September 2013

Contoh Soal Tes Potensi Akademik

Senin, 09 September 2013

Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Penelitian Tindakan Kelas
oleh: Drs. Tatang Sunendar, M.Si.

Belakangan ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK) semakin menjadi trend untuk dilakukan oleh para profesional sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu di berbagai bidang. Awal mulanya, PTK, ditujukan untuk mencari solusi terhadap masalah sosial (pengangguran, kenakalan remaja, dan lain-lain) yang berkembang di masyarakat pada saat itu. PTK dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian terhadap masalah tersebut secara sistematis. Hal kajian ini kemudian dijadikan dasar untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan rencana yang telah disusun, kemudian dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang dipakai sebagai masukan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada tahap pelaksanaan. Hasil dari proses refeksi ini kemudian melandasi upaya perbaikan dan peryempurnaan rencana tindakan berikutnya. Tahapan-tahapan di atas dilakukan berulang-ulang dan berkesinambungan sampai suatu kualitas keberhasilan tertentu dapat tercapai.
Dalam bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran, PTK berkembang sebagai suatu penelitian terapan. PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran di kelas. Dengan melaksanakan tahap-tahap PTK, guru dapat menemukan solusi dari masalah yang timbul di kelasnya sendiri, bukan kelas orang lain, dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif. Selain itu sebagai penelitian terapan, disamping guru melaksanakan tugas utamanya mengajar di kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswanya. Jadi PTK merupakan suatu penelitian yang mengangkat masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh guru di lapangan. Dengan melaksanakan PTK, guru mempunyai peran ganda : praktisi dan peneliti.
B. Mengapa Penelitian Tindakan Kelas Penting ?
Ada beberapa alasan mengapa PTK merupakan suatu kebutuhan bagi guru untuk meningkatkan profesional seorang guru :
  1. PTK sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelasnya. Dia menjadi reflektif dan kritis terhadap lakukan.apa yang dia dan muridnya
  2. PTK dapat meningkatkan kinerja guru sehingga menjadi profesional. Guru tidak lagi sebagai seorang praktis, yang sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakan selama bertahun-tahun tanpa ada upaya perbaikan dan inovasi, namun juga sebagai peneniliti di bidangnya.
  3. Dengan melaksanakan tahapan-tahapan dalam PTK, guru mampu memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang dalam terhadap apa yang terhadap apa yang terjadi di kelasnya. Tindakan yang dilakukan guru semata-mata didasarkan pada masalah aktual dan faktual yang berkembang di kelasnya.
  4. Pelaksanaan PTK tidak menggangu tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran.
  5. Dengan melaksanakan PTK guru menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar yang dipakainya.
  6. Penerapan PTK dalam pendidikan dan pembelajaran memiliki tujuan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek pembelajaran secara berkesinambungan sehingga meningkatan mutu hasil instruksional; mengembangkan keterampilan guru; meningkatkan relevansi; meningkatkan efisiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya meneliti pada komunitas guru.
C. Hakikat Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin McTaggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya.
PTK di Indonesia baru dikenal pada akhir dekade 80-an. Oleh karenanya, sampai dewasa ini keberadaannya sebagai salah satu jenis penelitian masih sering menjadikan pro dan kontra, terutama jika dikaitkan dengan bobot keilmiahannya.
Jenis penelitian ini dapat dilakukan didalam bidang pengembangan organisasi, manejemen, kesehatan atau kedokteran, pendidikan, dan sebagainya. Di dalam bidang pendidikan penelitian ini dapat dilakukan pada skala makro ataupun mikro. Dalam skala mikro misalnya dilakukan di dalam kelas pada waktu berlangsungnya suatu kegiatan belajar-mengajar untuk suatu pokok bahasan tertentu pada suatu mata kuliah. Untuk lebih detailnya berikut ini akan dikemukan mengenai hakikat PTK.
Menurut John Elliot bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya (Elliot, 1982). Seluruh prosesnya, telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengaruh menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi diri dari perkembangan profesional. Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart, yang mengatakan bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta–pesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik itu dan terhadap situasi tempat dilakukan praktik-praktik tersebut (Kemmis dan Taggart, 1988).
Menurut Carr dan Kemmis seperti yang dikutip oleh Siswojo Hardjodipuro, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah PTK adalah suatu bentuk refleksi diri yang dilakukan oleh para partisipan (guru, siswa atau kepala sekolah) dalam situasi-situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran (a) praktik-praktik sosial atau pendidikan yang dilakukan dilakukan sendiri, (b) pengertian mengenai praktik-praktik ini, dan (c) situasi-situasi ( dan lembaga-lembaga ) tempat praktik-praktik tersebut dilaksanakan (Harjodipuro, 1997).
Lebih lanjut, dijelaskan oleh Harjodipuro bahwa PTK adalah suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan, dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktik mengajarnya sendiri, agar kritis terhadap praktik tersebut dan agar mau utuk mengubahnya. PTK bukan sekedar mengajar, PTK mempunyai makna sadar dan kritis terhadap mengajar, dan menggunakan kesadaran kritis terhadap dirinya sendiri untuk bersiap terhadap proses perubahan dan perbaikan proses pembelajaran. PTK mendorong guru untuk berani bertindak dan berpikir kritis dalam mengembangkan teori dan rasional bagi mereka sendiri, dan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan tugasnya secara profesional.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa dilakukannya PTK adalah dalam rangka guru bersedia untuk mengintropeksi, bercermin, merefleksi atau mengevalusi dirinya sendiri sehingga kemampuannya sebagai seorang guru/pengajar diharapkan cukup professional untuk selanjutnya, diharapkan dari peningkatan kemampuan diri tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas anak didiknya, baik dalam aspek penalaran; keterampilan, pengetahuan hubungan sosial maupun aspek-aspek lain yang bermanfaat bagi anak didik untuk menjadi dewasa.
Dengan dilaksanakannya PTK, berarti guru juga berkedudukan sebagai peneliti, yang senantiasa bersedia meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Upaya peningkatan kualitas tersebut diharapkan dilakukan secara sistematis, realities, dan rasional, yang disertai dengan meneliti semua “ aksinya di depan kelas sehingga gurulah yang tahu persis kekurangan-kekurangan dan kelebihannya. Apabila di dalam pelaksanaan “aksi” nya masih terdapat kekurangan, dia akan bersedia mengadakan perubahan sehingga di dalam kelas yang menjadi tanggungjawabnya tidak terjadi permasahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti, sejak disusunnya suatu perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelas yang berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Sementara itu, dilaksanakannya PTK di antaranya untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pangajaran yang diselenggarakan oleh guru/pengajar-peneliti itu sendiri, yang dampaknya diharapkan tidak ada lagi permasalahan yang mengganjal di kelas.
D. Jenis dan Model PTK
Sebagai paradigma sebuah penelitian tersendiri, jenis PTK memiliki karakteristik yang relatif agak berbeda jika dibandingkan dengan jenis penelitian yang lain, misalnya penelitian naturalistik, eksperimen survei, analisis isi, dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan jenis penelitian yang lain PTK dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian kualitatif dan eksperimen. PTK dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif karena pada saat data dianalisis digunakan pendekatan kualitatif, tanpa ada perhitungan statistik. Dikatakan sebagai penelitian eksperimen, karena penelitian ini diawali dengan perencanaan, adanya perlakuan terhadap subjek penelitian, dan adanya evaluasi terhadap hasil yang dicapai sesudah adanya perlakuan. Ditinjau dari karakteristiknya, PTK setidaknya memiliki karakteristik antara lain: (1) didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional; (2) adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya; (3) penelitian sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi; (4) bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek instruksional; (5) dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus.
Menurut Richart Winter ada enam karekteristik PTK, yaitu (1) kritik reflektif, (2) kritik dialektis, (3) kolaboratif, (4) resiko, (5) susunan jamak, dan (6) internalisasi teori dan praktek (Winter, 1996). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan secara singkat karakteristik PTK tersebut.
  1. Kritik Refeksi; salah satu langkah di dalam penelitian kualitatif pada umumnya, dan khususnya PTK ialah adanya upaya refleksi terhadap hasil observasi mengenai latar dan kegiatan suatu aksi. Hanya saja, di dalam PTK yang dimaksud dengan refleksi ialah suatu upaya evaluasi atau penilaian, dan refleksi ini perlu adanya upaya kritik sehingga dimungkinkan pada taraf evaluasi terhadap perubahan-perubahan.
  2. Kritik Dialektis; dengan adanyan kritik dialektif diharapkan penelitian bersedia melakukan kritik terhadap fenomena yang ditelitinya. Selanjutnya peneliti akan bersedia melakukan pemeriksaan terhadap: (a) konteks hubungan secara menyeluruh yang merupakan satu unit walaupun dapat dipisahkan secara jelas, dan, (b) Struktur kontradiksi internal, -maksudnya di balik unit yang jelas, yang memungkinkan adanya kecenderungan mengalami perubahan meskipun sesuatu yang berada di balik unit tersebut bersifat stabil.
  3. Kolaboratif; di dalam PTK diperlukan hadirnya suatu kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti atasan, sejawat atau kolega, mahasiswa, dan sebagainya. Kesemuanya itu diharapkan dapat dijadikan sumber data atau data sumber. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakikatnya kedudukan peneliti dalam PTK merupakan bagian dari situasi dan kondisi dari suatu latar yang ditelitinya. Peneliti tidak hanya sebagai pengamat, tetapi dia juga terlibat langsung dalam suatu proses situasi dan kondisi. Bentuk kerja sama atau kolaborasi di antara para anggota situasi dan kondisi itulah yang menyebabkan suatu proses dapat berlangsung.Kolaborasi dalam kesempatan ini ialah berupa sudut pandang yang disampaikan oleh setiap kolaborator. Selanjutnya, sudut pandang ini dianggap sebagai andil yang sangat penting dalam upaya pemahaman terhadap berbagai permasalahan yang muncul. Untuk itu, peneliti akan bersikap bahwa tidak ada sudut pandang dari seseorang yang dapat digunakan untuk memahami sesuatu masalah secara tuntas dan mampu dibandingkan dengan sudut pandang yang berasal; dari berbagai pihak. Namun demikian memperoleh berbagai pandangan dari pada kolaborator, peneliti tetap sebagai figur yang memiliki ,kewenangan dan tanggung jawab untuk menentukan apakah sudut pandang dari kolaborator dipergunakan atau tidak. Oleh karenanya, sdapat dikatakan bahwa fungsi kolaborator hanyalah sebagai pembantu di dalam PTK ini, bukan sebagai yang begitu menentukan terhadap pelaksaanan dan berhasil tidaknya penelitian.
  4. Resiko; dengan adanya ciri resiko diharapkan dan dituntut agar peneliti berani mengambil resiko, terutama pada waktu proses penelitian berlangsung. Resiko yang mungkin ada diantaranya (a) melesetnya hipotesis dan (b) adanya tuntutan untuk melakukan suatu transformasi. Selanjutnya, melalui keterlibatan dalam proses penelitian, aksi peneliti kemungkinan akan mengalami perubahan pandangan karena ia menyaksikan sendiri adanya diskusi atau pertentangan dari para kalaborator dan selanjutnya menyebabkan pandangannya berubah.
  5. Susunan Jamak; pada umumnya penelitian kuantitatif atau tradisional berstruktur tunggal karena ditentukan oleh suara tunggal, penelitinya. Akan tetapi, PTK memiliki struktur jamak karena jelas penelitian ini bersifat dialektis, reflektif, partisipasi atau kolaboratif. Susunan jamak ini berkaitan dengan pandangan bahwa fenomena yang diteliti harus mencakup semua komponen pokok supaya bersifat komprehensif. Suatu contoh, seandainya yang diteliti adalah situasi dan kondisi proses belajar-mengajar, situasinya harus meliputi paling tidak guru, siswa, tujuan pendidikan, tujuan pembelajaran, interaksi belajar-mengajar, lulusan atau hasil yang dicapai, dan sebagainya.
  6. Internalisasi Teori dan Praktik; Menurut pandangan para ahli PTK bahwa antara teori dan praktik bukan merupakan dua dunia yang berlainan. Akan tetapi, keduanya merupakan dua tahap yang berbeda, yang saling bergantung, dan keduanya berfungsi untuk mendukung tranformasi. Pendapat ini berbeda dengan pandangan para ahli penelitian konvesional yang beranggapan bahwa teori dan praktik merupakan dua hal yang terpisah. Keberadaan teori diperuntukkan praktik, begitu pula sebaliknya sehingga keduanya dapat digunakan dan dikembangkan bersama.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa bentuk PTK benar-benar berbeda dengan bentuk penelitian yang lain, baik itu penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif maupun paradigma kualitatif. Oleh karenanya, keberadaan bentuk PTK tidak perlu lagi diragukan, terutama sebagai upaya memperkaya khasanah kegiatan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan taraf keilmiahannya.
E. Jenis Penelitian Tindakan Kelas
Ada empat jenis PTK, yaitu: (1) PTK diasnogtik, (2) PTK partisipan, (3) PTK empiris, dan (4) PTK eksperimental (Chein, 1990). Untuk lebih jelas, berikut dikemukakan secara singkat mengenai keempat jenis PTK tersebut.
  1. PTK Diagnostik; yang dimaksud dengan PTK diagnostik ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosia dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian. Sebagai contohnya ialah apabila peneliti berupaya menangani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa yang terdapat di suatu sekolah atau kelas.
  2. PTK Partisipan; suatu penelitian dikatakan sebagai PTK partisipan ialah apabila orang yang akan melaksanakan penelian harus terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Dengan demikian, sejak penencanan panelitian peneliti senantiasa terlibat, selanjutnya peneliti memantau, mencacat, dan mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan melaporkan hasil panelitiannya. PTK partisipasi dapat juga dilakukan di sekolah seperti halnya contoh pada butir a di atas. Hanya saja, di sini peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus sejak awal sampai berakhir penelitian.
  3. PTK Empiris; yang dimaksud dengan PTK empiris ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung. Pada prinsipnya proses penelitinya berkenan dengan penyimpanan catatan dan pengumpulan pengalaman penelti dalam pekerjaan sehari-hari.
  4. PTK Eksperimental; yang dikategorikan sebagai PTK eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatam belajar-mengajar. Di dalam kaitanya dengan kegitan belajar-mengajar, dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini diharapkan peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran.
F. Model-model Penelitian Tindakan Kelas
Ada beberapa model PTK yang sampai saat ini sering digunakan di dalam dunia pendidikan, di antaranya: (1) Model Kurt Lewin, (2) Model Kemmis dan Mc Taggart, (3) Model John Elliot, dan (4) Model Dave Ebbutt.
  1. Model Kurt Lewin; di depan sudah disebutnya bahwa PTK pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946. konsep inti PTK yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin ialah bahwa dalam satu siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) Perencanaan ( planning), (2) aksi atau tindakan (acting), (3) Observasi (observing), dan (4) refleksi (reflecting) (Lewin, 1990). Sementara itu, empat langkah dalam satu siklus yang dikemukakan oleh Kurt Lewin tersebut oleh Ernest T. Stringer dielaborasi lagi menjadi: (1) Perencanaan (planning), (2) Pelaksanaan (implementing), dan (3) Penilaian (evaluating) (Ernest, 1996).
  2. Model John Elliot; apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas, yaitu Model Kurt Lewin dan Kemmis-McTaggart, PTK Model John Elliot ini tampak lebih detail dan rinci. Dikatakan demikian, oleh karena di dalam setiap siklus dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara 3-5 aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah, yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar. Maksud disusunnya secara terinci pada PTK Model John Elliot ini, supaya terdapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf di dalam pelaksanan aksi atau proses belajar-mengajar. Selanjutnya, dijelaskan pula olehnya bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan sehingga menjadi beberapa langkah oleh karena suatu pelajaran terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau materi pelajaran. Di dalam kenyataan praktik di lapangan setiap pokok bahasan biasanya tidak akan dapat diselesaikan dalam satu langkah, tetapi akan diselesaikan dalam beberapa rupa itulah yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan kedua model sebelumnya, yaitu seperti dikemukakan berikut ini.
SIKLUS PELAKSANAAN PTK
siklus-ptk.jpg
Gambar 4: Riset Aksi Model John Elliot
G. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas
Banyak model PTK yang dapat diadopsi dan diimplementasikan di dunia pendidikan. Namun secara singkat, pada dasarnya PTK terdiri dari 4 (empat) tahapan dasar yang saling terkait dan berkesinambungan: (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting).
Namun sebelumnya, tahapan ini diawali oleh suatu Tahapan Pra PTK, yang meliputi:
  • Identifikasi masalah
  • Analisis masalah
  • Rumusan masalah
  • Rumusan hipotesis tindakan
Tahapan Pra PTK ini sangat esensial untuk dilaksanakan sebelum suatu rencana tindakan disusun. Tanpa tahapan ini suatu proses PTK akan kehilangan arah dan arti sebagai suatu penelitian ilmiah. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan guna menuntut pelaksanaan tahapan PTK adalah sebagai berikut ini.
  1. Apa yang memprihatinkan dalam proses pembelajaran?
  2. Mengapa hal itu terjadi dan apa sebabnya?
  3. Apa yang dapat dilakukan dan bagaimana caranya mengatasi keprihatinan tersebut?
  4. Bukti-bukti apa saja yang dapat dikumpulkan untuk membantu mencari fakta apa yang terjadi?
  5. Bagaimana cara mengumpulkan bukti-bukti tersebut?
Jadi, tahapan pra PTK ini sesungguhnya suatu reflektif dari guru terhadap masalah yang ada dikelasnya. Masalah ini tentunya bukan bersifat individual pada salah seorang murid saja, namun lebih merupakan masalah umum yang bersifat klasikal, misalnya kurangnya motivasi belajar di kelas, rendahnya kualitas daya serap klasikal, dan lain-lain.
Berangkat dari hasil pelaksanaan tahapan Pra PTK inilah suatu rencana tindakan dibuat.
  1. Perencanaan Tindakan; berdasarkan pada identifikasi masalah yang dilakukan pada tahap pra PTK, rencana tindakan disusun untuk menguji secara empiris hipotesis tindakan yang ditentukan. Rencana tindakan ini mencakup semua langkah tindakan secara rinci. Segala keperluan pelaksanaan PTK, mulai dari materi/bahan ajar, rencana pengajaran yang mencakup metode/ teknik mengajar, serta teknik atau instrumen observasi/ evaluasi, dipersiapkan dengan matang pada tahap perencanaan ini. Dalam tahap ini perlu juga diperhitungkan segala kendala yang mungkin timbul pada saat tahap implementasi berlangsung. Dengan melakukan antisipasi lebih dari diharapkan pelaksanaan PTK dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan hipotesis yang telah ditentukan.
  2. Pelaksanaan Tindakan; tahap ini merupakan implementasi ( pelaksanaan) dari semua rencana yang telah dibuat. Tahap ini, yang berlangsung di dalam kelas, adalah realisasi dari segala teori pendidikan dan teknik mengajar yang telah disiapkan sebelumnya. Langkah-langkah yang dilakukan guru tentu saja mengacu pada kurikulum yang berlaku, dan hasilnya diharapkan berupa peningkatan efektifitas keterlibatan kolaborator sekedar untuk membantu si peneliti untuk dapat lebih mempertajam refleksi dan evaluasi yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi dikelasnya sendiri. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori pembelajaran yang dikuasai dan relevan.
  3. Pengamatan Tindakan; kegiatan observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Data yang dikumpulkan pada tahap ini berisi tentang pelaksanaan tindakan dan rencana yang sudah dibuat, serta dampaknya terhadap proses dan hasil intruksional yang dikumpulkan dengan alat bantu instrumen pengamatan yang dikembangkan oleh peneliti. Pada tahap ini perlu mempertimbangkan penggunaan beberapa jenis instrumen ukur penelitian guna kepentingan triangulasi data. Dalam melaksanakan observasi dan evaluasi, guru tidak harus bekerja sendiri. Dalam tahap observasi ini guru bisa dibantu oleh pengamat dari luar (sejawat atau pakar). Dengan kehadiran orang lain dalam penelitian ini, PTK yang dilaksanakan menjadi bersifat kolaboratif. Hanya saja pengamat luar tidak boleh terlibat terlalu dalam dan mengintervensi terhadap pengambilan keputusan tindakan yang dilakukan oleh peneliti. Terdapat empat metode observasi, yaitu : observasi terbuka; observasi terfokus; observasi terstruktur dan dan observasi sistematis. Beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam observasi, diantaranya: (a) ada perencanaan antara dosen/guru dengan pengamat; (b) fokus observasi harus ditetapkan bersama; (c) dosen/guru dan pengamat membangun kriteria bersama; (d) pengamat memiliki keterampilan mengamati; dan (e) balikan hasil pengamatan diberikan dengan segera. Adapun keterampilan yang harus dimiliki pengamat diantaranya: (a) menghindari kecenderungan untuk membuat penafsiran; (b) adanya keterlibatan keterampilan antar pribadi; (c) merencanakan skedul aktifitas kelas; (d) umpan balik tidak lebih dari 24 jam; (d) catatan harus teliti dan sistemaris
  4. Refleksi Terhadap Tindakan; tahapan ini merupakan tahapan untuk memproses data yang didapat saat dilakukan pengamatan. Data yang didapat kemudian ditafsirkan dan dicari eksplanasinya, dianalisis, dan disintesis. Dalam proses pengkajian data ini dimungkinkan untuk melibatkan orang luar sebagai kolaborator, seperti halnya pada saat observasi. Keterlebatan kolaborator sekedar untuk membantu peneliti untuk dapat lebih tajam melakukan refleksi dan evaluasi. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori instruksional yang dikuasai dan relevan dengan tindakan kelas yang dilaksanakan sebelumnya, menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang mantap dan sahih.Proses refleksi ini memegang peran yang sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan PTK. Dengan suatu refleksi yang tajam dan terpecaya akan didapat suatu masukan yang sangat berharga dan akurat bagi penentuan langkah tindakan selanjutnya. Refleksi yang tidak tajam akan memberikan umpan balik yang misleading dan bias, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan suatu PTK. Tentu saja kadar ketajaman proses refleksi ini ditentukan oleh kejataman dan keragaman instrumen observasi yang dipakai sebagai upaya triangulasi data. Observasi yang hanya mengunakan satu instrumen saja. Akan menghasilkan data yang miskin.Adapun untuk memudahkan dalam refleksi bisa juga dimunculkan kelebihan dan kekurangan setiap tindakan dan ini dijadikan dasar perencanaan siiklus selanjutnya. Pelaksanaan refleksi diusahakan tidak boleh lebih dari 24 jam artinya begitu selesai observasi langsung diadakan refleksi bersama kolaborator.
Demikianlah, secara keseluruhan keempat tahapan dalam PTK ini membentuk suatu siklus. Siklus ini kemudian diikuti oleh siklus-siklus lain secara bersinambungan seperti sebuah spiral.
Kapan siklus-siklus tersebut berakhir? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh si peneliti sendiri. Kalau dia sudah merasa puas terhadap hasil yang dicapai dalam suatu kegiatan PTK yang dia lakukan, maka dia akan mengakhiri siklus-siklus tersebut. Selanjutnya, dia akan melakukan satu identifikasi masalah lain dan kemudian diikuti oleh tahapan-tahapan PTK baru guna mencari solusi dari masalah tersebut.
=====

Jumat, 06 September 2013

Peraturan Pemerintah tentang Kepengawasan

Permen tentang pengawas No 12 Tahun 2007
Download disini

Permen tentang penugasan guru dan pengawas No 74 Tahun 2008
Download disini

Sabtu, 08 Juni 2013

Cara FLY CCCam Matrix Prolink Ethernet New (MHDE New)

Kali ini saya coba menonton chanel Telkomvision, tepatnya. Untuk mendapatkan signal dari satelit, maka dibutuhkan Parabola yang mengarah ke satelit Telkom1 (108.2 derajat) dengan LNB C-Band.


Data Transponder Channel Telkomvision dapat dilihat di www.lyngsat/telkom-1.html. Misalnya pada frekuensi 3620 polaritas V dan simbol rate 28000.


Jika Kita men-Scanning channel tersebut, maka TV kita hanya menampilkan Chanel yang bertanda $ alias Scrambling (saat saya menulis ini,, dia diacak dengan tipe IRDETO2),,,,, naaaaaahhh, untuk menghilangkan tanda tersebut maka salah satu alternatifnya adalah dengan cara FLY.  Tentang FLY gak usah saya jelaskan, karena sudah dijelaskan berkali-kali di dunia maya...



Langsung saja.....

Di postingan ini saya akan menjelaskan cara FLY Khusus MHDE New.... semua foto berikut bersumber dari saya sendiri (Ratlin).


Yang perlu dipersiapkan:

- Laptop (Saya menggunakan Windows XP SP3,,, sama kok penampakannya dengan yang SP2)

- Modem ( saya menggunakan Telkomsel FLASH EDGE)

- Kabel LAN Tipe CROSS (Silang) bukan STRIGHT (Lurus)

- Tiket CCcam (dibeli pada juragan2 Fly yang bertebaran di dunia maya)


Caranya adalah sebagai berikut:

Saya pakai OS Windows XP SP3,,,,,,,   sama kok penampakannya dengan yang SP2

Koneksikan kabel LAN tipe Cross antara Komputer dengan Receiver (Cara membuat kabel Cross (silang) gak usah saya paparkan,, sangat Buaaaaanyak di google. Intinya saya gunakan kabel LAN sepanjang 5 meter (lebih pendek lagi, lebih bagus…….. mmmmm maklum sayakan ngerti tentang hukum OHM Fisika,,,)


Koneksikan dulu MODEMnya:

(Gbr 1)

Ini dia sambungan saya…..


Mari kita Lanjuuuuttt…….
Yang pertama kita bermain dulu dengan Komputer (Kebetulan saya pake laptop, dengan Operating System…..udah ditulis di atas)

Klik Start – Settings – Network Connection,,, kaya gini bro..


(Gbr 2)

Setelah itu akan nampak seperti gambar ini……


(Gbr 3)                                                                                  
Setiap computer biasanya beda-beda penampakkannya,,,, Tapi yang terpenting yaitu pada Device Name = ……..Ethernet Controller dan HUAWEI Mobile Connect-3GNetwork… (Perlu agan tau niyeee…. Yang Device HUAWEI dan seterusnya… itu adalah Device dari Modem yang saya Gunakan). Modem yang ane pakai ialah Telkomsel Flash.

Fungsi keduanya:
Modem : buat konek ke Jaringan Internet sedangkan
Ethernet : buat menghubungkan Receiver dengan Laptop
Lanjwoooooooottttt…….

Eeeeeh belum…. Ada yang kelupaan, saya ini kan orang kampong/pelosok. Jelasnya gak ada WIFI di tempatku… Naaaaahh kalao agan-agan orang kotaaaa…. Dan berada di area WIFI (Wireless),,, pakai saja koneksi Ethernet Controler dan WIFI. biar irit biaya pulsa. Hihihihi…. Dasar orang kota serba dimanja.

Okedeeee.. buang aja tentang WIFI,,, kita lanjotkan dengan Ethernet Controler dan Modem.

Klik kanan dan pilih Properties pada Koneksi Modem (tepatnya yang Nama devicenya …Mobile Connect…) kaya gini gaaaannnn.

(Gbr 4)

Teruuuuussss….. Akan muncul kotak dialog ……yang terdiri dari 2 TAB. Pada tab General tidak perlu ada yang robah,,, biarkan saja. Yang perlu dirubah hanya pada tab Advanced.
Eeeeeeeehhhh tunggu apalagi, segerah saja klik tab Advanced…. lalu  bikin tuh tampilan supaya jadi kaya gini.

(Gbr 5)

Jelasnya pada gambar di atas tuuuuuhh yang Allow dst harus di kasi tanda Cek kemudian List Home network dst pilih Local Area connection.

Kalowww sudaaah… tinggal klik OK dan OK…… laluuuuu Traaaaaaaaaapppp
icon yang di klik kanan tadi akan berubah menjadi Kupu-kupu … eh SALAH .. maksud saya akan ada tambahan gambar tangan manusia  kaya gini-niiiii

(Gbr 6)

Sampai disini kita udah selesai bermain dengan MODEM, trus kita maikan lagi Ethernetnya….

Seperti pada Modem, Klik kanan pada Local Area Connection dan pilih Properties…. Di bagian ini yang perlu dirubah, hanya pada TAB General…. Yaitu pada bagian Internet Protocol (TCP/IP). Pilih saja Opsi ini (Pada bagian bawah sekali),,, laluuuuu pilih Properties. Naaaah untuk bagian ini, biasanya saya pakai kaya gini.

(Gbr 7)

Keterangannya:
IP address     =     192.168.0.2 (Ini harus diingat gaaannn)
Sebnet mask     =     255.255.255.0
Untuk di bawahnya dikosongkan saja seperti Default gateway, preferred DNS server dan Alternate DNS server.

Mmmmmmmmmm  satu lagi kebiasaan saya pada IP address angka 192.168.0. selalu saya tulis kaya gitu, sedangkan digit terakhir (angka 2) terserah bisa diubah-ubah…. Tinggal pilih sesuai selerah yang penting angkanya dari 1 sampe 255. kalaw gak mau repot, samaiin aja dengan punya ane di atas….

Okeyyy.. lanjuoooot

Klik OK dan OK                             >>>>> Game Overrrr buat Komputer
Skarang kita Bermain lagi dengan Receiver (Orang pintar bilang RX),,, okedeehh kita sebut saja RX.

Pada RX tekan Menu-Pengaturan Jaringan-tekan tombol 8 6 1 2 pada remot dan TADAAAAAAAAAAA,, akan muncul dialog berikut:

(Gbr 8)

Pilih Pengaturan Jaringan, lalu bikin penampakkannya (seperti punya saya) kaya gini:


(Gbr 9)

Penjelasannya kaya giniii:
DHCP     =     Mati
Alamat IP     =     192.168.000.003 (angka 003 terserah yang penting jangan sama dengan IP Addressnya Komputer tadi,,, masih ingatkan juragaaann)
Subnet Mask     =     255.255.255.000
Gateway     =     192.168.000.002 (ini diisi sama dengan IP Address Komputer,,, masih ingatkaaan)
DNS pilihan     =     008.008.008.008 (Harus diisi, gak boleh 0 semua; bisa juga kamu isi dengan angka sama dengan Gateway)
Pokoknya sesuaikan gambar,,,, lalu pilih Menyetujui dan tekan tombol EXIT pada remot.

Saya bisa juga Sukses pada PENGATURAN JARINGAN  dengan DHCP = Hidup, sehingga tidak perlu mengubah konfigurasi dibawahnya seperti Alamat IP dan kawan-kawannya.  Hanya saya lebih stabil jika DHCP = Mati.
                    …..Terserah anda aja deeeh….
Lanjuuuuuuuttt…….
Pilih Konfiggurasi Net Client, dan akan muncul dialog yang akan memunculkan banyak computer…. Pilih saja Server1 kemudian Ubah (tombol hijau pada remot) dan traaaaap akan ada penampakkan, dan ubah kaya gini:


(Gbr 10)

Disini diisi dengan UANG,,,, heheheheheeeee.. maksud saya beli dulu pada juragan FLY untuk mengisi kotak isian di atas, yaitu Server…, , Port Layanan, Nama User dan Kata Sandi). Intinya begini:
Server1     = Beli
Protokol     = CCcamd
Port layanan     = Beli
Nama User     = Beli
Kata Sandi     = Beli
Kunci Des     = Gak perlu diganti
EmmEnable     = Gak perlu diganti

Catatan buat yang paling gaptek (dari server, port, nama user dan kata sandi….Itu sekali beli dikasi keempatnya broo…. Biasanya melalui SMS).
Kalau sudah diisi, tekan Exit pada remot.. ada pertanyaan tentang perubahan? (pilih saja Ya), kemudian tekan OK sekali untuk Start/Stop Server yang dipilih. Kalau semua udah bener, pasti akan ada tanda Cek List warnah Hijau pada Server yang dipilih (saya memilih server1)…. Gambarnya ini dia:


(Gbr 11)

Tapi jika tandanya hanya berubah “?” dan “X” secara bergantian,, artinya belum sukses gaan,, kemungkinan tiketnya udah basi.


Kalao udah sukses….Woeeeeeeeeeee tungu apalagi,,,,, anda sudah terhubung… silahkan nonton Channel sesuai tiket Fly yang anda beli, Telkomvision, Indovision, Astro dan lain-lain.

Seperti ini:

(Gbr 12)

Naaaaaaaaaaaaaahhhh Blum selesai INFOnya brooooo…. Ada tambahan berikut:

Sangat perlu mengetes Hubungan RX, Komputer dan Modem terlebih dahulu sebelum tiket dipesan. Sebab jangan sampai, Tiket udah dibeli… tapi koneksinya blum Jalan…

Caranya gini:
Di RX Pada Konfigurasi Net Client… pilih Ubah (tombol hijau)
Server1 isi saja dengan alamat yang bisa dengan mudah dikoneksi , misalnya “www.fisikaratlin.blogspot.com” tanpa tanda petik, ini gambarnya:

(Gbr 13)

Kemudian tekan Enter (atau tombol Merah di remot), lalu Exit (Jika ada pertanyaan penyimpanan perubahan, pilih saja YA).

Lalu pada remot tekan PING lalu MULAI,,,, jika seperti gambar berikut, berarti koneksi Sukses…………… anda siap beli Tiket.

(Gbr 14)

Tapi kalau muncul tulisan “PING FILLED!!!” berarti belum terhubung antara Modem, laptop dan rx….

Periksa:
1.    Apakah modem sudah terhubung/Connected
2.    Apakah LAN sudah terhubung
3.    Periksa IP address seperti yang sudah saya jelaskan.

Saya SUKSES FLY dengan setingan semua konfigurasi seperti di atas

Terima kasihhhhhhhhhhhhh……….


Masih Bingung????? Silahkan Koment......