Mas Nadiem Terkejut ketika Komitmen Kebangsaan Kita Dipertanyakan

Penyampaian beliau menyikapi isu yang berkembang di masyarakat terkait penyederhanaan kurikulum

Belum Bisa Menulis? Ini Kiatnya!

Kuliah Umum IV Pembatik Level 4 Tahun 2020

Kompetensi Public Speaking Seorang Pendidik

Kuliah Umum I Pembatik Level 4 bersama Charles Bonar Sirait

Founder "Sokola Rimba"

Kuliah Umum II Pembatik Level 4 bersama Butet Manurung, MAAPD.

Pembukaan Kuliah Umum Pembatik Lev. 4 Tahun 2020

Kuliah Umum Perdana Pembatik Lev. 4 Tahun 2020. Dibuka oleh Mas Nadiem Makarim

Rabu, 30 Oktober 2013

KLASIFIKASI TES

Cronbach (1970) membagi tes menjadi dua kelompok besar, yakni :

1. Tes yang mengukur performasi maksimal (maximum performance)
tujuan : mengukur apa yang mampu dilakukan dan seberapa baik seseorang mampu melakukannya.
stimulus : jelas terstruktur dan subjek mengetahui jawaban yang dikehendaki.
contoh : tes inteligensi, tes bakat, tes prestasi belajar, tes profisiensi.

2. Tes yang mengukur performasi tipikal (typical performance)
tujuan : mengukur apa yang cenderung seseorang lakukan.
stimulus : berstruktur ambiguous dan subjek tidak mengetahui jawaban yang dikehendaki.
contoh : tes minat, tes sikap, dan berbagai bentuk skala kepribadian. 

Dari segi fungsinya tes terdiri dari:
1. Tes seleksi (selection test).
Tes seleksi digunakan untuk memilih atau menyeleksi siswa yang terbaik dari semua peserta tes, materinya berupa materi prasyarat untuk mengikuti program pendidikan yang akan diikuti oleh calon siswa. Tes seleksi dapat dilakukan secara lisan, secara tertulis, dengan tes perbuatan, dan dapat juga ketiganya dikombinasikan secara serempak.

2. Tes awal (pre-test).
Tes awal merupakan tes yang dilaksanakan sebelum bahan pelajaran diberikan kepada siswa dengan tujuan unyk mengetahui sejauh manakah materi atau bahan pelajaran yang akan diajarkan telah dapat dikuasai oleh siswa.

3. Tes akhir (post-test)
Tes akhir merupakan tes yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah semua materi pelajaran yang tergolong penting sudah dikuasi dengan sebaik-baiknya oleh siswa. Pada dasarnya materi pre-test sama dengan materi post-test.

4. Tes diagnostik (diagnostic test)
Tes diagnostik merupakan tes yang dilaksanakan untuk menentukan secara tepat jenis kesukaran yang dihadapi oleh para siswa dalam mata pelajaran tertentu. Tes diagnostik dapat dilaksanakan dengan secara lisan, tertulis, perbuatan atau kombinasi dari ketiganya.

5. Tes formatif (formative test)
Tes formatif merupakan tes hasil belajar yang bertujuan untuk mengetahui sudah sejauh manakah siswa sudah memahami pelajaran setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu dan memperbaiki kualitas pembelajaran. Tes formatif bisa dilaksanakan di tengah-tengah perjalanan program pembelajaran, yaitu dilaksanakan pada setiap kali satuan pelajaran atau subpokok bahasan berakhir atau dapat diselesaikan dan dikenal dengan istilah ulangan harian.

6. Tes sumatif (summative test)
Tes sumatif merupakan tes hasil belajar yang dilaksanakan setelah sekumpulan materi pelajaran atau satuan program pengajaran selesai diberikan. Tes sumatif dilaksanakan dengan tujuan untuk menentukan nilai yang menjadi lambang keberhasilan siswa setelah mereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.

Klasifikasi Bloom Ranah Kognitif Beserta Contoh C1-C6

Pada tahun 1950-an Benyamin Bloom memimpin suatu tim yang terdiri atas para ahli psikologi dalam menganalisis perilaku belajar akademik. Hasil pekerjaan tim ini dikenal dengan taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom menggolongkan tiga kategori perilaku belajar dan saling melengkapi (overlapping).

Bloom mengklasifikasi lebih lanjut kognitif menjadi 6. Keenam klasifikasi ranah kognitif bloom adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan
2. Pemahaman
3. Penerapan
4. Analisis
5. Sintesis
6. Penilaian




Gambar untuk klasifikasi taksonomi bloom ranah kognitif
berikut contoh keenam klasifikasi yang selanjutnya di singkat C1, C2, C3, C4, C5, C6

Contoh soal Hafalan/Ingatan (Recall) C1 atau pengetahuan
Jenjang ini meliputi kemampuan menyatakan kembali fakta, konsep, prinsip, prosedur yang telah dipelajari oleh siswa.


Kata “komputer” berasal dari kata “computare” yang artinya…………………


Contoh soal Pemahaman (Comprehension) C2
Pada jenjang ini siswa diharapkan kemampuannya untuk mengerti makna dari informasi yang diperoleh baik berupa fakta, konsep, dan prinsip.


Berdasarkan kegunaan nya, perangkat keras digolongkan dalam tiga bagian utama yaitu……


Contoh soal Penerapan (Application) C3
Yang termasuk jenjang penerapan adalah kemampuan menggunakan prinsip, aturan, atau metode yang telah diketahuinya dalam situasi baru atau situasi kongkrit.


Saat mengakhiri pemakaian windows, prosedur mematikan computer yang benar adalah……


Contoh soal Analisis (Analysis) C4
Yang dimaksud jenjang analisis adalah kemampuan menguraikan suatu informasi yang dihadapi menjadi komponen-komponennya, sehingga struktur informasi serta hubungan antar komponeninformasi tersebut menjadi jelas.


Tuliskan secara singkat langkah-langkah membuat surat dengan Mailings


Contoh soal Sintesis (Synthesis) C5
Yang dimaksud jenjang sintesis adalah kemampuan untuk mengintegrasikan bagian-bagian terpisah menjadi suatu keseluruhan yang terpadu. Termasuk di dalamnya kemampuan merencanakan eksperimen, karya tulis (laporan, artikel), menyusun cara baru untuk mengklarifikasikan obyek, peristiwa, dan informasi-informasi lainnya.


Ada 2 syarat utama dalam pembuatan mail merge yaitu……


Contoh soal Evaluasi (Evaluation) C6
Yang dimaksud jenjang evaluasi adalah kemampuan untuk mempertimbangkan nilai suatu pernyataan, uraian, pekerjaan, berdasarkan kriteria tertentu yang ditetapkan. Misalnya memilih rumusan yang didukung oleh data.


Software yang digunakan untuk keperluan mengetik naskah, dokumen atau yang lebih dikenal sebagai software pengolah kata adalah……………

TES, PENGUKURAN, PENILAIAN, EVALUASI

  • TES
    Istilah ini berasal dari bahasa latin “testum” yang berarti sebuah piringan atau jambangan dari tanah liat. Istilah ini dipergunakan dalam lapangan psikologi dan selanjutnya hanya dibatasi sampai metode psikologi, yaitu suatu cara untuk menyelidiki seseorang. Penyelidikan tersebut dilakukan mulai dari pemberian suatu tugas kepada seseorang atau untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu. Pada hakikatnya tes adalah suatu alat yang berisi serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau soal-soal yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu. Dengan demikian, fungsi tes adalah sebagai alat ukur.
  • PENGUKURANPengukuran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas “sesuatu”. Kata “sesuatu” bisa berarti peserta didik, guru, gedung sekolah, meja belajar, papan tulis, dll.  Dalam proses pengukuran tentu guru harus menggunakan alat ukur  (tes atau non tes). Alat ukur tersebut harus standar, yaitu memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang tinggi.
  • PENILAIANPenilaian adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dari pertimbangan tertentu. Kegiatan penilaian harus dapat memberikan informasi kepada guru untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya dan membantu peserta didik mencapai perkembangan belajarnya secara optimal. Implikasinya adalah kegiatan penilaian harus digunakan sebagai cara atau teknik untuk mendidik sesuai dengan prinsip pedagogis. Guru harus menyadari bahwa kemajuan belajar perserta didik merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam pembelajaran.
  • EVALUASI
    Pada hakikatnya evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) dari sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka pembuatan keputusan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
    1. Evaluasi adalah suatu proses bukan suatu hasil (produk). Hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi adalah kualitas sesuatu, baik yang menyangkut tentang nilai atau arti, sedangkan kegiatan untuk sampai pada pemberian nilai dan arti itu adalah evaluasi. Membahas tentang evaluasi berarti mempelajari bagaimana proses pemberian pertimbangan mengenai kualitas sesuatu.
    2. Tujuan evaluasi adalah untuk menentukan kualitas sesuatu, terutama yang berkenaan dengan “nilai dan arti”.
      • Pemberian nilai dilakukan apabila seorang evaluator memberikan pertimbangannya mengenai evaluan tanpa menghubungkannya dengan sesuatu yang bersifat dari luar. Jadi, pertimbangan yang diberikan sepenuhnya berdasarkan apa evaluan itu sendiri.
      • Arti, berhubungan dengan posisi dan peranan evaluasi dalam suatu konteks tertentu.
    3. Dalam proses evaluasi harus ada pemberian pertimbangan (judgement) yang merupakan konsep dasar dari evaluasi. Melalui pertimabangan inilah ditentukan nilai dan arti/makna dari sesuatu yang dievaluasi.
    4. Pemberian pertimbangan tentang nilai dan arti haruslah berdasarkan kriteria tertentu. Tanpa kriteria yang jelas, pertimbangan nilai dan arti yang diberikan bukanlah suatu proses yang dapat diklasifikasikan sebagai evaluasi. Kriteria ini penting dibuat oleh evaluator dengan pertimbangan:
      • Hasil evaluasi dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
      • Evaluator lebih percaya diri.
      • Menghindari adanya unsur subjektivitas.
      • Memungkinkan hasil evaluasi akan sama, sekalipun dilakukan pada waktu dan orang yang berbeda.
      • Memberikan kemudahan bagi evaluator dalam melakukan penafsiran hasil evaluasi.
  • HUBUNGAN EVALUASI-PENILAIAN-PENGUKURAN DAN TES
    Antara penilaian dan evaluasi sebenarnya memiliki persamaan dan perbedaan.
    • Persamaannya adalah keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu, disamping itu juga alat yang digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Pada hakikatnya keduanya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek.
    • Perbedaannya terletak pada ruang lingkup dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian lebih sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah satu komponen atau aspek saja, seperti prestasi belajar. Pelaksanaan penilaian biasanya dilakukan dalam konteks internal. Ruang lingkup evaluasi lebih luas, mencangkup semua komponen dalam suatu sistem dan dapat dilakukan tidak hanya pihak internal tetapi juga pihak eksternal.Evaluasi dan penilaian lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes merupakan salah satu alat (instrument) pengukuran. Pengukuran lebih membatasi pada gambaran yang bersifat kuantitatif (angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik, sedangkan evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Keputusan penilaian tidak hanya didasarkan pada hasil pengukuran, tetapi dapat pula didasarkan hasil pengamatan dan wawancara. Perhatikan ilustrasi berikut ini:Bu Nisa ingin mengetahui apakah peserta didiknya sudah menguasai kompetensi dasar dalam matapelajaran TIK. Untuk itu, Bu Nisa memberikan tes tertulis dalam bentuk objektif pilihan ganda sebanyak 50 soal kepada peserta didiknya (artinya Bu Nisa sudah menggunakan tes). Selanjutnya, Bu Nisa memeriksa lembar jawaban peserta didik sesuai dengan kunci jawaban, kemudian sesuai dengan rumus tertentu dihitung skor mentahnya. Ternyata, skor mentah yang diperoleh peserta didik sangat bervariasi, ada yang memperoleh skor 25, 36, 44, 47, dan seterusnya (sampai disini sudah terjadi pengukuran). Angka atau skor-skor tersebut tentu belum mempunyai nilai /makna dan arti apa-apa. Untuk memperoleh nilai dan arti dari setiap skor tersebut, Bu Nisa melakukan pengolahan skor dengan pendekatan tertentu. Hasil pengolahan dan penafsiran dalam skala 0 – 10  menunjukkan bahwa skor 25 memperoleh nilai 5 (berarti tidak menguasai), skor 36 memperoleh nilai 6 (berarti cukup menguasai), skor 44 memperoleh nilai 8 (berarti menguasai), dan skor 47 memperoleh nilai 9 (berarti sangat memuaskan). Sampai disini sudah terjadi proses penilaian. Ini contoh dalam ruang lingkup penilaian hasil belajar. Jika Bu Nisa menilai seluruh komponen pembelajaram maka berarti terjadi evaluasi.
  • KETERKAITAN EVALUASI-PENILAIAN-PENGUKURAN DAN TES
    • Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan, dan menyeluruh dalam rangka pengendalian, penjaminan, dan penetapan kualitas (nilai dan arti) pembelajaran terhadap berbagai komponen pembelajaran berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan pembelajaran.
    • Penilaian hasil belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan, menyeluruh dalam rangka pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menilai pencapaian proses dan hasil belajar peserta didik.

Rabu, 02 Oktober 2013

Tugas Kelompok 5 Terjemahan (Patta Bundu)

Quantitative Research Design

As indicated above, quantitative research focuses on analysis of numeric data. The approach often follows particular scientific methods (e.g., design, sampling, measurement). Quantitative research can be classified into three types shown in Table 4 (Trochim, 2006).

Table 4. Quantitative Research DesignsResearch Design            Non-Experiment           Quasi-Experiment         Experiment
Random Assignment of Subjects to Group        No       No       Yes
Control Group or Multiple Waves of Measurement       No       Yes      Yes


Non-experimental designs

Non-experimental designs do not involve random assignment of subjects to groups, nor is there a control or comparison group. Non-experimental designs also do not involve multiple waves of measurement. This type of design is very useful for descriptive research questions such as:
What percentage of students is involved in community service?
Do male students have different attitudes than females about the need for social service agencies?
How many faculty members have taught a service-learning course in the past three years?

The simplest, very common form of non-experiment is a one-shot survey. For example, a researcher might conduct a survey of opinions about community activism. In a variation on this, a researcher might measure attitudes at the end of a semester in a service-learning course. This design (called the post-test only, single group design, Campbell & Stanley, 1963) lacks a comparison, and therefore the ability to conclude that the outcome was the result of the servicelearning experience.

Correlational research designs evaluate the nature and degree of association between two naturally occurring variables. The correlation coefficient is a statistical summary of the nature of the inferred association between two constructs that have been operationalized as variables. The correlation coefficient contains two pieces of information (a) a number, which summarizes the degree to which the two variables are linearly associated; and (b) a sign, which summarizes the nature or direction of the relationship. The numeric value of a correlation coefficient can range from +1.0 to -1.0. Larger absolute values indicate greater linear association; numbers close to zero indicate no linear relationships. A positive sign indicates that higher values on one variable are associated with higher values on the other variable; a negative sign indicates an inverse relationship between the variables such that higher values on one variable are associated with lower values on the other variable.

Causal inferences are very difficult to make from a single correlation because the correlation does not assist in determining the direction of causality. For example, a positive correlation between volunteering and self-esteem indicates that more volunteering is associated with higher self-esteem. However, the correlation does not differentiate among at least three possibilities, (a) that volunteering affects self-esteem; (b) that self-esteem promotes volunteering; or (c) that a third variable (e.g., self-efficacy) is responsible for the correlation between selfesteem and volunteering.

Experimental designs

In contrast to correlational methods that assess the patterns between naturally occurring variables, experiments manipulate a variable, the independent variable, and see what consequence that manipulation has on another variable, the dependent variable. Not all experimental designs are equally good at allowing the researcher to make causal inferences. An outline of experimental designs is presented below. Note that this section is only intended to be an introduction to the topic. For more specific information on experimental research design, the reader should consult a research methodology text (e.g., Campbell & Stanley, 1966; Cook & Campbell, 1979; Cozby, 2009; Kerlinger, 1986). Consultation with experienced research colleagues is also helpful. Some online resources on design are listed in the appendices of this document.

The strongest research design in terms of drawing cause-and-effect conclusions (internal validity) is the randomized or true experiment. In this "gold standard" of quantitative research designs, subjects are randomly assigned to different groups or treatments in the study. Traditionally these groups of subjects are referred to as the experimental or treatment group(s) (e.g., students in a service-learning course) and the comparison or control group(s) (e.g., students in a traditional course). Note that random assignment of subjects to a group in an experiment is different from the random selection of subjects to be involved in the study. Random assignment makes it unlikely that the treatment and control groups differ significantly at the beginning of a study on any relevant variable, and increases the likelihood that differences on the dependent variable result from differences on the independent variable (treated group vs. control group). Random assignment controls for self-selection and pre-existing differences between groups; random selection or sampling is relevant to the generalizability or external validity of the research.

There are a variety of designs that utilize random assignment of subjects, but true experimental studies are relatively rare in service-learning research, as in most educational research. This is because it is usually difficult, especially in higher education settings, to randomly assign students to service-learning versus traditional courses or to different levels of a variable in the instruction. Nevertheless, the U.S. Department of Education has proposed that all research use random assignment so that education practice can be based on research with internal validity (www2.ed.gov/rschstat/eval/resources/randomqa.html). A close approximation of random assignment occurs when students are not aware that some sections of a course will be service-learning and some will not be service-learning when they register for courses (Markus, Howard, & King, 1993; Osborne et al., 1998). Also, there may be opportunities to randomly assign students to different conditions in service-learning classes (e.g., students are randomly assigned to (a) written reflection or (b) reflection through group discussion).

Quasi-experimental designs

Like experimental designs, quasi-experimental designs involve the manipulation of an independent variable to examine the consequence of that variable on another (dependent) variable. The key difference between experimental and quasi-experimental designs is that the latter do not involve random assignment of subjects to groups. A large portion of past quantitative research on service-learning involves quasi-experimental design. We do not intend to comprehensively cover all quasi-experimental designs in this primer; instead we will discuss some designs commonly seen in service-learning research. For more advanced information, or for information on other designs not discussed here, we recommend that the reader consult a graduate-level research methodology text (e.g., Campbell & Stanley, 1966; Cook & Campbell, 1979; Cozby, 2009; Kerlinger, 1986). Consultation with experienced research colleagues is also helpful. In addition, some online resources are listed in the appendices of this document.

One aspect of designing a study relates to temporal arrangements. Some researchers are interested in the developmental aspects of service-learning, or in the effects of service-learning over time. For example, they may be interested in the question of whether involvement in volunteer service during high school leads to increased involvement in service during and after college. There are two approaches to designing research to answer these types of questions. In a cross-sectional design the researcher gathers data from several different groups of subjects at approximately the same point in time. For example, a researcher might choose to conduct interviews with groups of college freshmen, juniors, graduating seniors, and alumni. Longitudinal studies (sometimes also called time series designs) involve gathering information about one group of people at several different points in time. Astin, Sax, and Avalos (1999), for example, collected survey data from entering freshmen in 1985, then surveyed the same group of students four years later in 1989, and again to the now-alumni in 1994-95. Longitudinal studies are extremely valuable sources of information for studying long-term consequences of servicelearning, but they are rare in service-learning research because of the practical, technical, and financial difficulties in following a group of people over time.

Other researchers focus their interest on questions that do not relate to developmental issues or impact over a long period of time. In fact, many if not most service-learning studies are limited to one semester or sometimes one year in length. A common strategy is to give an attitude measure to students in a service-learning course at the beginning and end of a semester. This pre-test, post-test single group design examines the difference between pre- and post-test scores for one group of students. Unfortunately, there is no assurance that the difference in pretest and post-test scores is due to what took place in the service-learning class. The difference in attitudes could be attributable to other events in the students' lives (history), natural growth changes (maturation), dropout of the least motivated students during the course (mortality), or carryover effects from the pre-test to the post-test (testing).

Another experimental design is the post-test only, static groups design1, which compares the outcomes of a pre-existing treated group to the outcomes of a pre-existing untreated group. Using this design, an instructor could give an attitude scale at the end of the semester to a service-learning section of the course and also to a section that did not contain service-learning. This design suffers from the limitation that it is not possible to conclude that the difference on the dependent variable, attitudes, is due to the difference in instruction because it is not known if the two groups were equivalent in their attitudes at the beginning of the semester.

An alternative arrangement, the nonequivalent (or untreated) control group design with pre- and post-test, is to give a pre-test and a post-test to both a service-learning section of a course and to a traditional section that does not include a service component. In this design the researcher can evaluate whether or not the two groups were equivalent at the beginning of the semester, but only on the measured variables. A second step is to examine the pattern of changes between the two groups across the semester.

The biggest problem with the nonequivalent groups design is self-selection bias, described above in the section "Common Problems in Service-Learning Research." Frequently in higher education, and sometimes in high school settings, service-learning courses are optional for graduation, and/or service is an optional component of a particular course. That is, students must select or opt to be in the class and to participate in service. The result is that students are nonrandomly assigned to the treatment group (service-learning course) and thus there is non-random assignment of students to groups. There are likely to be many differences between students who choose to be involved in service-learning classes and those who do not (Eyler& Giles, 1999). Even with a pre-test to compare equivalence of groups at the beginning of the study, a researcher could never completely eliminate the possibility that there are differences on other, unpre-tested variables, or that post-test differences are due to inherent differences in the groups, rather than differences in the educational intervention. Sometimes researchers use multiple measures preand post-treatment to help assess whether groups are equivalent on several relevant variables; statistical procedures (i.e., analysis of covariance) also can help control for differences between treatment and non-treatment groups, but only for measures that are obtained prior to the educational intervention. Of course, the best solution is random assignment of students to groups, which makes this an experimental design, rather than a quasi-experimental one.


A common variation of the nonequivalent groups design occurs when students in two sections (one including a service component and one not) of a course are being compared, but the two sections are taught by different instructors. This creates a problem in interpretation because one cannot infer that post-test differences in scores are due to the style of pedagogy (service-learning) rather than other differences between instructors. Another variation is to compare two sections of the same course, one involving service and one not, but taught in different semesters. In this case it is possible that differences in post-test scores are due to events extraneous to the study, which happened during one semester but not the other. In sum, it is important for the researcher to be aware of potential pitfalls of any research design and to take these into account when drawing conclusions from the study.